Ustaz Miftah el-BanjaryPakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir AlquranLulusan Institute of Arab Studies Cairo-MesirSejatinya, puasa bagi kaum sufi telah menjadi salah satu aktivitas ruhani untuk menghidupkan hati dan membuka tabir-tabir makrifat. Mereka terbiasa dengan lelaku tirakat di luar kebiasaan manusia kebanyakan. Semakin dalam pemaknaan suatu perintah atau anjuran, maka kesungguhan dalam menjalankannya pun akan meningkat. Walhasil, nilai yang dihasilkannya akan lebih mendalam dan mengakar karena puncak tujuan mereka tidak lain adalah al-Haqq, Allah berarti menahan lapar. Terma lapar atau al-Ju dalam konstelasi ruhani kaum sufi menjadi satu tahapan olah batin yang sangat penting. Kelaparan yang mereka jalani tidak lantas menentang sunnatullah, tetapi menyedikitkan makan sekadar sebagai bekal untuk kekuatan ibadah. Baca Juga Bagaimana Cara Puasa Rasulullah SAW?Bukankah Rasulullah SAW telah mengingatkan, "Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya. Maka, cukup baginya memakan beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya memberikan tenaga. Jika tidak sanggup, maka dia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga untuk nafasnya."Isyarat hadits di atas tidak menganjurkan kita untuk meninggalkan makanan secara ekstrim, tetapi mengkonsumsi makanan sekadar memberikan kekuatan dalam menegakkan ibadah kepada Allah SWT. Dan lapar dalam puasa, berarti ada masa di mana kita menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan berdasarkan ketentuan fikih setelah fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari yang ditandai dengan adzan lapar ini para sufi mencoba berdamai dengan tubuh. Kesadaran bahwa makanan bukanlah satu-satunya hal yang membuat mereka hidup telah tertanam dalam batinnya. Mereka benar-benar menginsafi lapar baik melalui menyedikitkan makanan, maupun saat puasa ini akan menekan syahwat kebinatangan mereka, sekaligus mempersempit jalan setan dalam darah manusia. Seperti ungkapan hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah manusia, karena itu persempitlah jalan masuknya dengan lapar puasa."Puasa Ramadhan melatih hampir semua umat Muhammad dalam berbagai tingkatan kesalehan untuk berpuasa menahan lapar dan dahaga. Tidak hanya itu, puasa Ramadhan juga menjadi pelindung dari setan. Baca Juga Di Bulan Ramadhan Allah pun Berkirim Salam kepada Sayyidah KhadijahSeperti ungkapan Imam al-Bujairami yang mengutip pendapat Imam Asy-Syarani "Barangsiapa sempurna laparnya pada bulan Ramadhan, dia akan terlindungi dari setan yang terkutuk hingga Ramadhan berikutnya. Karena puasa adalah perisai yang melindungi tubuh seseorang yang berpuasa selama tidak dirusak oleh sesuatu pun. Apabila ia rusak maka setan pun masuk melalui tempat yang rusak itu."Maka dari itu, untuk memberikan kualitas terbaik dalam lapar-puasa Ramadhan, kita pun perlu mengenali beragam perilaku yang merusak puasa. Puasa dan laparnya melampaui aspek lahiriahnya. Puasanya mengekang gerak tubuh dari perbuatan tercela dan dosa. Di antara hal-hal yang merusak puasa seperti disebutkan dalam hadis Nabi SAW yang bersumber dari Jabir dari Anas ra. "Lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu berkata dusta, menggunjing orang lain, mengadu domba, sumpah palsu, dan pandangan dengan syahwat".Sehingga makna puasa bagi kaum sufi bukan sekedar menahan dahaga dan lapar di siang hari, namun hakikat puasa bagi mereka menahan gerak anggota tubuh dari apa yang diharamkan, bahkan mereka menjaga khatar gerak hati mereka dari lalai mengingat Allah al-Aghyar.rhs
1 Roh Idhofi (Roh Idhofi) : adalah roh yang sangat utama bagi manusia. Roh Idofi juga disebut ”JAUHAR AWAL SUCI”, karena roh inilah maka manusia dapat hidup. Bila roh tersebut keluar dari raga, maka manusia yang bersangkutan akan mati. Roh ini sering disebut ”NYAWA”.
SUDAH SAATNYA MENYADARI HAKIKAT AJARAN SUFI Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MAPENDAHULUAN Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah Azza wa membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur`ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh al-Barbahâri rahimahullah mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum, maka berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf AJARAN TASHAWWUF Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat Radhiyallahu anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]Ajaran ini, pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota Islam lainnya.[3]Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar hlm. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al- Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan kezuhudan model agama Budha”.[4]Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk DASAR AJARAN TASHAWWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR`ÂN DAN AS-SUNNAH[5] Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatannya berdasarkan simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat disimpulkan sebagai berikutMereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah kecintaan saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf rasa takut dan ar-raja` pengharapan, sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. !? Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull penghinaan diri, al-khudhû` ketundukkan, do’a, dan aspek-aspek seorang ulama Salaf berkata “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq kafir. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah Khawarij. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah–hid orang yang bertauhid dengan benar”.Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat yang tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla , mereka berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang nabi/rasul yang terjaga dari kesalahan. Maka demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf, mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah lâ ilaha illallah, menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ا للة dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata Huwa/Dia, mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallah adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ا للة, serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa/Dia, maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.Sikap ghuluw berlebih-lebihan/ekstrim orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali kekasih Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali kekasih Allah Azza wa Jalla . Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla , melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib tidak nampak, dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla .Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla .Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri ? kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla ?!. Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat bohong yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka. Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus dengan datangnya agama Islam dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik keadaannya dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla . Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Shallallahu alaihi wa sallam .Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut iniوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُBeribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini kematian. [al-Hijr/15 99].Kata mereka “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu mencapai tingkatan ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah kewajiban melaksanakan ibadah atas dirimu …”.Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla , tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh jika muncul pertanyaan “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla .Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah as-Sunnah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali Imrân/3164].Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah kekotoran jiwanya.[9]Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan permisalan bahwa petunjuk dan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam , ibarat air hujan yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit. Sebagaimana fungsi air hujan ialah menghidupkan, membersihkan, dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang. Maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , adalah untuk menghidupkan, mensucikan dan menumbuhkan hati Ta’ala a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri hlm. 61, Tahqiq Syaikh Khâlid ar-Raddâdi. [2] Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14. [3] Majmu’ al-Fatâwa, 11/6. [4] Ibid., hlm. 14. [5] Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan. [6] Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya. [7] Majmu’ al-Fatâwa, 11/215. [8] Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini. [9] Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id. Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Sudah Saatnya Menyadari Hakikat...
SYARIAT TAREKAT DAN HAKIKAT Berikut definisi syariat, tarekat dan hakikat menurut pemahaman khusus di kalangan ahli tasawuf: SYARIAH Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha (ahli fiqih). TAREKAT DAN HAKEKAT
JAKARTA- Kitab Ar-Risalah merupakan salah satu magnum opus Syekh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi. Kitab yang ditulis sufi dari abad ke-11 M, ini mencoba mendudukkan tasawuf pada relnya. Dalam kalam pembuka, Imam al-Qusyairi, begitu tersohor dikenal, menulis tentang kaum sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah para wali terpilih, mengutamakan mereka atas semua hamba-Nya setelah para rasul dan nabi- Nya. Allah SWT menjernihkan mereka dari segala kotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat musyahadat persaksian rohani pada kebesaran dan rahasia kegaiban Allah SWT. Ia meneruskan, “Ketahuilah, sesungguhnya ahli hakikat sebagian besar telah punah; tidak ada yang tersisa pada masa kita dari kelompok ini kecuali hanya bekas-bekasnya. Sungguh, kelemahan telah terjadi di kelompok ini, bahkan mereka terkikis dari peran kehidupan.” Al-Qusyairi juga mengkritik sikap yang memandang diri dan kelompok berdiri di atas kebenaran. Dengan sikap itu, lahirlah egoisme yang berupaya menyingkirkan siapa pun yang dianggap berseberangan pandangan. “Kebencian yang didasarkan perasaan iri menyebabkan mereka menyebut para pengikut thariqah dengan sebutan yang jelek,” tulisnya. Pada bagian itu, ia mengungkapkan motivasinya dalam menulis Ar-Risalah. Menurut sang imam, banyak pihak yang sesungguhnya belum mengetahui disiplin tasawuf, tetapi mereka dengan lantang mengecam kaum sufi. Sebab, orang-orang itu justru kurang memahami hakikat dan prinsip-prinsip tarekat. Terutama sekali, kalangan fuqaha yang rajin mencari-cari kesalahan pelaku tasawuf akibat dari pemahaman mereka yang tidak mendalam. Ar-Risalah menyatakan, tasawuf adalah aktivitas roh, asah rasa dan olah perilaku yang dilakukan karena dorongan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam surat al-A'la ayat 4-5 disebutkan قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia menegakkan sholat.” Al-Qusyairi menegaskan, para mursyid atau guru kaum sufi telah membangun kaidah-kaidah ajaran dengan berdasar pada prinsip tauhid. Mereka menjaganya dari bid'ah. Karena itu, pandangannya dekat dengan para ulama terdahulu salaf ash-shalih serta ahli sunah Rasul SAW. “Tidak didapati dalam ajaran mereka Red unsur-unsur penyerupaan pada al-Haqq panteisme dan peniadaan ateisme,” tulis sang cendekiawan. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
MenurutHarun Nasution (1979:71) hakekat sufisme atau mistisisme, baik yang terdapat dalam agama Islam maupun di luar Taqwa – Tawakkal – Dalam pandangan kaum sufi, tobat yang sebenarnya berarti ‘lupa pada segala hal kecuali Tuhan’. Orang yang bertobat, kata al-Hujwiri, adalah orang yang cinta sepenuhnya kepada Allah. Orang
PENGERTIAN DAN LANDASAN TASAWWUF Akar kata “tasawwuf” memiliki ragam makna. Sebagain pendapat mengatakan bahwa “tasawwuf” diambil dari akar kata bahasa arab shofaa -yashfuu yang artinya “suci murni”. Dalam pengertian ini, imam Bisyr bin al-Harits, salah seorang sufi terkemuka sebagaimana dikutip syekh Muhammad Mayyarah dalam kitab Syarh al-Mursyid al-Mu’in, berkata لصُّوْفِيّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ تَعَالَى Orang sufi ialah orang yang hatinya murni bagi Allah. Penulis Artikel “PENGERTIAN & LANDASAN TASAWWUF” OLEH Fikri Badjeber. Dok Foto Facebook Dapat pula “tasawwuf” diambil dari kata shuuf. Artinya “kain wol”. Dalam makna ini imam Abu Ali al-Raudzabari, yang juga seorang sufi besar, berkata مَنْ لَبِسَ الصُّوْفَ عَلَى الصّفَا وَكَانَتِ الدُّنْيَا مِنْهُ عَلَى القَفَا وَسَلَكَ مِنْهَاجَ المُصْطَفَى seorang sufi adalah orang yang dalam kesuciannya memakai kain wol, menjauhi kenikmatan dunia, dan berpegang teguh pada jalan rasulullah. Secara definitif sebagai sebuah disiplin ilmu, “tasawwuf” diartikan beragam. Di antaranya perkataan imam al-Junaid al-Baghdadi, seorang pemuka kaum sufiالخُرُوْجُ عَنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ، وَالدُّخُوْلُ فِي خُلُقٌ سَنِيّ Keluar dari setiap akhlak tercela dan masuk kepada setiap akhlak terpuji Syekh Zakariyya al-Anshari, berkata التَّصَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ تُعْرَفُ بهِ أحْوَالُ تَزْكِيَةِ النّفْس، وَتَصْفِيَةِ الأخلاق، وَتَعْمِيْرِ الظّاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيْلِ السّعَادَة ِالأبَدِيَّة Tasawwuf adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui keadaan-keadaan dalam mensucikan jiwa, membersihkan akhlak, menghiasi zhahir dan batin untuk mencapai kebaagian dunia dan akhirat Imam Abu Bakar al-Syibly, ketika ditanya oleh Abu al-Hasan al-Farghani tentang siapakah seorang yang sufi, menjawab مَنْ صَفَا قَلْبُهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ المُصْطَفَى، وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ القَفَا، وَأذَاقَ الهَوَى طَعْمَ الجَفَا Sufi adalah seorang yang hatinya bersih, maka ia menjadi suci. Seorang yang menapaki jalan Rasulullah, membuang dunia di belakang punggungnya dan menjadikan hawa nafsu merasakan kepahitan Ketika ditanya kembali definisi lain dari seorang sufi, al-Syibli berkata مَنْ جَفَا عَنِ الكَدَرِ، وَخلصَ مِنَ العَكر، وَامْتَلأ بالفِكْر، وَتَسَاوَى عِنْدَهُ الذهَبُ وَالمَدَرُ Adalah orang yang menjauhi kekeruhan, membersihkan diri dari aib, memenuhi dirinya dengan berfikir dan tidak berbeda baginya antara emas dan debu Dan ketika ditanya definisi tasawwuf, imam Syibly berkata تَصْفِيَةُ القلُوْبِ لِعَلاَّمِ الغُيُوبِ Membersihkan hati hanya bagi Allah; Yang mengetahui segala yang ghaib Ketika ditanya kembali definisi lain dari tasawwuf, imam Syibly berkata تَعْظِيْمُ أمْرِ اللهِ وَالشّفَقَةُ إِلَى عِبَادِ اللهِ Mengagungkan segala perintah Allah dan mencintai para hanba Allah Definisi lain mengatakan الجِدُّ فِي السُّلُوكِ إلَى مَلِكِ المُلُوْكِ Usaha keras dalam suluk menuju Allah. Tasawwuf sebagai sebuah nama belum dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Namun sebagai sebuah ajaran sudah ada. Bahkan apa yang dicontohkan Rasulullah dalam kesehariannya dihadapan para sahabat adalah unsur-unsur tasawwuf yang merupakan landasannya. Firman Allah dalam al-Qur’an وَأمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى، فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأوَى النازعات 40-41 Adapun Orang yang takut akan keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda أحَبُّ العِبَادِ إلَى اللهِ تَعَالى الأتقِيَاءُ الأخْفِيَاء، الذيْنَ إذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوْا، وَإذَا شَهِدُوْا لَمْ يُعْرَفُوا، أولئِكَ هُمْ أئِمَّة الهُدَى وَمَصَابِيْحُ العِلمِ رواه أبو نعيم Hamba-hamba yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang bertaqwa dan yang tersembunyi. Bila tidak hadir, mereka tidak dicari. Dan bila hadir mereka tidak dikenali. Mereka adalah para imam yang membawa petunjuk dan lentera-lentera ilmu. Sahabat Umar bin al-Khattab berkata اخْشَوْشِنُوْا وَتَمَعْدَدُوْا {ikhsyausyinuu wa tama’daduu} Maksud perkataannya ikhsyausyinuu adalah “Biasakanlah oleh kalian untuk menjauhi kenikmatan”. Pengertian tama’daduu “Biasakanlah oleh kalian untuk mencontoh Ma’ad ibn Adnan”. Ma’ad ibn Adnan adalah salah seorang kakek Rasulullah yang beragama Islam, sangat disegani di kaumnya, namun demikian beliau selalu menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi. Pernyataan Umar ini memberikan keterangan jelas kepada kita bahwa ajaran-ajaran tasawwuf di kalangan sahabat nabi sudah ada. LANDASAN TASAWWUF; ILMU DAN AMAL Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa tasawwuf adalah usaha untuk mencapai keridlaan Allah dengan meraih derajat tinggi kwalitas taqwa. Titik final ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengikuti segala yang telah digariskan syari’at. Dengan demikian tasawwuf sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya tasawwuf adalah ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, ajaran yang diemban para imam sufi adalah berpegang teguh dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Nu’aim, salah seorang ulama terkemuka di sekitar abad 4 hijriah, menulis sebuah kitab berjudul Hilyah al-Auliya Fi Thabaqat al-Ashfiya’. Sebuah kitab yang berisi penyebutan biografi kaum sufi dari masa ke masa hingga masanya sendiri. Beliau menulis karya tersebut untuk membedakan antara sufi sejati yang benar-benar sufi dengan kaum sufi gadungan palsu. Dalam penyebutan biografi kaum sufi tersebut, Abu Nu’aim memulai dengan kaum sufi kalangan sahabat nabi 100 tahun pertama hijriah. Di mulai dengan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Kemudian dari kalangan tabi’in 100 tahun kedua hijriah seperti al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri dan seterusnya. Selanjutnya dari kalangan atba’ at-Tabi’in 100 tahun ketiga hijriah. Hal ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa kaum sufi sejati adalah mereka yang berpegang teguh dengan ajaran nabi. Dalam Islam kaum sufi bukan sebagai komunitas tersendiri. Tapi sebaliknya kaum sufi terdiri dari berbagai kalangan ulama. Ada yang berasal dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan lainnya. Dalam aqidah mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh, secara umum, mereka berpegang teguh kepada salah satu dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Karena itu, landasan yang paling pertama ditanamkan oleh kaum sufi adalah ilmu. Yaitu mempelajari ajaran-ajaran syari’at Islam. Kemudian dilanjutkan dengan amal, artinya mengerjakan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut. Dari sini derajat takwa sebagai tujuan suluk perjalanan akan diraih. Seseorang tidak akan pernah mencapai apa yang telah dicapai kaum sufi sejati bila tidak mengetahui syari’at, karena ia tidak akan pernah mencapai derajat takwa. Dan karenanya Allah tidak menjadikan para wali-Nya mereka yang bodoh dengan syari’at-Nya. Dalam pada ini imam Syafi’i berkata مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلاً Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh THARIQAT Di antara tanda-tanda kaum yang mengaku sufi padahal sufi tidak seperti mereka adalah mereka yang memisahkan atau membeda-bedakan antara syari’at dan thariqat, atau membedakan antara syari’at dengan hakekat. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang tidak shalat, puasa, atau amal ibadah lainnya dengan alasan bahwa itu semua hanya pekerjaan syari’at atau zhahir saja, bukan hakikat atau batin; yang merupakan intinya. Kaum sufi sejati tidak membedakan antara syari’at dengan hakekat. Hakekat tidak akan pernah dapat diraih kecuali dengan jalan syari’at. Dan karenanya syari’at disebut sebagai thariq thariqah, karena ia merupakan jalan menuju hakekat tersebut. Imam al-Junaid al-Baghdadi, pemimpin kaum sufi, berkata طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطّرِيْقُ إلَىاللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى المُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ Jalan kita ini tasawwuf diikat al-Qur’an dan sunnah rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah Dalam kesempatan lain beliau berkata مَنْ لَمْ يَحْفَظِ القُرْءَانَ وَلَمْ يَكْتُبِ الحَدِيْثَ لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِي هذا الأمْرِ، لأنَّ عِلْمَنَا هذا مُقَيَّدٌ بأصُوْلِ السُّنَّةِ Orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak mau menulis hadis, maka ia tidak diikuti dalam urusan ini tasawwuf, karena ilmu kita ini terikat dengan pokok-pokok sunnah Seorang sufi besar lainnya, imam Sahl al-Tustary berkata أصُوْلُ مَذهَبِنَا ثَلاَثَةٌ, الاقتِدَاءُ بِالنَّبِيِّ فِي الأخْلاَقِ وَالأفْعَالِ وَالأكْلِ مِنَ الحَلاَلِ وَإخْلاَصِ النِّيَّةِ فِي جَمِيْعِ الأفْعَالِ Maknanya “Landasan kita ini tasawwuf tiga perkara mencontoh akhlak dan perbuatan rasulullah, makan dari makanan halal dan ikhlas dalam setiap perbuatan”. Pengertian thariqat di atas adalah pengertian secara umum. Artinya seluruh apa yang merupakan ajaran dalam syari’at Islam adalah merupakan jalan untuk mencapai hakekat. Hanya saja belakangan, penyebutan thariqat seakan lebih mengacu kepada apa yang telah dirintis oleh para ulama sufi atau para wali Allah dari bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendorong dalam meningkatkan kwalitas takwa. Seperti thariqat al-Qadiriyah, ar-Rifa’iyyah, an-Naqsyabandiyah, as-Syadziliyah ali ba alawi dan lainnya. Pada dasarnya apa yang telah dirintis oleh para ulama tersebut adalah sesuatu yang sangat baik. Seorang murid dihadapan mursyid-nya berjanji untuk memegang teguh syari’at hingga mendapatkan citra takwa, inilah sebenarnya tujuan thariqat. Bacaan-bacaan dzikir tersebut hanya sebagai salah satu sarana untuk meraih citra takwa tersebut. Dalam pada ini para ulama berkata أخْذُ العَهْدِ عَلَى أيِدِيْ المَشَايِخِ مُسْتَحَبٌّ Mengambil janji dalam menjankan syari’at diatas tangan para syekh Mursyid itu disunnahkan. Maksudnya bahwa menjalankan thariqat yang isinya syari’at Islam itu sendiri, dengan ditambah berjanji kepada para syekh untuk selalu berusaha menjalankan syari’at, juga berusaha untuk menjauhi hal-hal yang mubah dengan tidak mengharamkannya, adalah hal yang sangat baik. Inilah pengertian thariqat secara garis besar. Pemimpin para wali Allah Suthanul Auliya, imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis thariqat Rifa’iyyah berkata وَاعْلَمْ أنَّ كُلَّ طَرِيْقَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ Ketahuilah sesunggguhnya setiap thariqah menuju jalan Allah yang menyalahi syari’at adalah zindiq Kemudian esensi thariqat tidak lebih dari berzikir, tahlil, takbir, tahmid, istigfar dan shalawat atas rasulullah. Maka jelas tidak ada suatu apapun yang menyalahi syari’at, bahkan sebaliknya syari’at menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu berzikir, istigfar, juga shalawat. DUA AQIDAHYANG SALAH ; HULUL DAN WAHDATUL WUJUD Yang perlu digaris bawahi bahwa para wali Allah perintis thariqat di atas adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah, aqidah yang diajarkan rasulullah dan para sahabatnya. Diantara apa yang diajarkan rasul dalam hal aqidah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat, Dia tidak menyerupai apapun dari makhlukNya. Allah berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ الشورى11 Dia Allah tidak menyerupaiNya suatu apapun. QS As-Syura11 Dari ayat ini para ulama mengambil kesimpulan إنَّ اللهَ لاَيَحُلُّ فِي شَيءٍ وَلاَ يَنْحَلُّ مِنْهُ شَيءٌ وَلاَ يَحُلُّ فِيْهِ شيءٌ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ Sesungguhnya Allah tidak menempat pada suatu apapun, dan tidak terpisah suatu apapun dari dzatnya, dan tidak suatu apapun menempat pada dzatNya, juga tidak menyerupaiNya suatu apapun. Maka apa yang diyakini segelintir orang tentang aqidah Hulul aqidah sesat yang menyatakan, bahwa Allah menyatu dengan para wali-Nya atau aqidah Wahdatul Wujud aqidah yang juga sesat; menyatakan bahwa Allah menyatu dengan alam semesta adalah suatu kesesatan belaka dan bukan ajaran Islam. Bahkan dua aqidah sesat inilah yang selalu diperangi oleh para imam thariqat itu sendiri. Imam Junaid al-Baghdadi berkata لَوْ كُنْتُ حَاكِمًا لَقَطَعْتُ رَأسَ كُلِّ مَنْ يَقُوْلُ لاَ مَوْجُوْدَ إلاّ اللهُ Andaikan aku seorang penguasa maka pastilah aku akan memenggal kepala tiap orang yang meyakini aqidah wahdatul wujud. Bahkan imam Muhyiddin ibnu Arabi, seorang sufi besar kenamaan, yang oleh sebagian orang orang pemeluk aqidah hulul, sangat giat memerangi dua aqidah sesat tersebut. Diantara ucapan beliau yang sangat masyhur ialah مَنْ قَالَ بِالحُلُوْلِ فدِيْنُهُ مَعْلُوْلٌ وَمَا قَالَ بِالاتّحَادِ إلاَّ أهْلُ الالْحَادِ Orang yang meyakini aqidah hulul maka agamanya cacat tidak sah, dan tidaklah seseorang berkata meyakini aqidah wahdatul wujud kecuali dia dari golongan bukan islam. *** Artikel ini telah tayang di Media Alkhairaat Online dengan judul “Tasawwuf dan Thariqat” pada 9 Juni 2021
HakikatTaqwa Alhamdulillah, ketika shalat jum'at tadi siang, 18 Mei 2012, di Masjid at-Taqwa Bintaro Permai, saya sempat mencatat kutipan dari yang disampaikan oleh Khotib Jum'at. Sayapun mencoba untuk mencari-cari kutipan-kutipan yang disampaikan oleh khotib, yaitu mengenai Taqwa menurut pendapat Ali bin Abi Thalib ra .
B Hakikat Al-Khauf Dalam pandangan al-Ghazali, al-khauf (takut) adalah ungkapan derita hati dan kegelisahan yang disebabkan terjadinya sesuatu yang dibenci Tuhan yang mungkin terjadi pada seseorang di masa yang akan 2 A. Wahib Mu’thi, ”Pekerjaan-Pekerjaan Hati” Menurut Ibn Taimiyyah, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1, Vol. V, Th. 1994, h. 70.
g0xCrMI. lg7wdoa5kh.pages.dev/396lg7wdoa5kh.pages.dev/540lg7wdoa5kh.pages.dev/241lg7wdoa5kh.pages.dev/312lg7wdoa5kh.pages.dev/532lg7wdoa5kh.pages.dev/585lg7wdoa5kh.pages.dev/73lg7wdoa5kh.pages.dev/27
hakikat taqwa menurut sufi